Minggu

Ilmu Hukum Indonesia

Sesuai dengan judulnya, berarti ini masih merupakan barang baru. 
Dikatakan baru karena belum banyak mendapatkan sorotan yang signifikan. Sebab, 
ketika bangsa kita (para ahli, praktisi luar pengadilan, pengamat, akademisi, 
mahasiswa, LSM, dan lainnya) euforia memasuki gelanggang belantara yang namanya 
orde reformasi, ilmu hukum belum banyak tersentuh. Ketika ada pembicaraan 
mengenai hukum yang menjadi sorotan adalah praktik hukum, dan lebih fokus lagi 
penegakan hukum. Tambahan lagi, hampir belum pernah terdengar secara wajar 
pembahasan atau perdebatan mengenai hukum kaitannya dengan agama dan budaya 
riil masyarakat. 

Ini berbeda sekali dengan disiplin lain, seperti sosilogi, antropologi, 
bahkan juga ekonomi, terlebih lagi politik. Kajian mengenai beberapa disiplin 
ini telah tereformasi secara signifikan, meskipun belum menampakkan sosok 
''identitas''-nya. Akibatnya, hukum di Indonesia lebih sering menjadi victim 
(korban) kritikan, bahkan juga hujatan oleh pelbagai pihak, tanpa ada solusi 
yang ditawarkan untuk ke depan. Selama kenyataannya seperti itu, belum bahkan 
juga mungkin tidak akan muncul solusi peran hukum di Indonesia sesuai dengan 
yang kita harapkan.

Apabila kita bicara mengenai hukum, sudah pasti melibatkan para pelaku 
hukumnya. Ketika para pelaku hukum menjalankan tugasnya seperti apa yang 
terjadi selama ini jelaslah tidak semata-mata kesalahan mereka. Bukankah mereka 
selalu mengatakan ''UU-nya kan memang berbunyi begitu''. Dengan demikian, 
bukankah mereka mempunyai dasar dan landasan yang ''benar'' menurut ilmu hukum 
yang kita ikuti selama ini? Toh, pendidikan hukumnya (termasuk kurikulum serta 
sistem dan metode pendidikan) belum pula menjadi sasaran evaluasi serius agar 
produknya menjadi yang kita harapkan.

Itulah, maka sudah seharusnya untuk menengok dan mengkaji ulang ilmu 
hukumnya. Bukan hanya semata-mata praktik hukum yang ada atau bukan pula hanya 
semata-mata menghujat pelaksana hukumnya. Memang banyak faktor yang harus 
dikaji serius, termasuk budaya hukum masyarakat, pendidikan hukum (meliputi 
kurikulum, dan lain-lain), dan yang paling penting untuk segera dilakukan 
adalah membangun Ilmu Hukum Indonesia.

Khas Indonesia
Mengapa judul seminar menyebutkan ''menggagas''? Menggagas berarti 
sesuatu yang digagas belum terwujud. Dalam waktu bersamaan, berarti telah 
tumbuh bahkan telah mempunyai kesadaran terhadap kenyataan belum terwujud tadi. 
Lebih dari itu, menggagas juga berarti adanya kondisi yang telah mempunyai 
kesadaran untuk mewujudkannya.

Mengapa dikatakan belum terwujud? Secara singkat dapat dikatakan bahwa 
ilmu hukum yang kita pelajari, kita yakini, dan kita praktikkan pada hakikatnya 
adalah Ilmu Hukum Belanda. Buku LJ van Apeldoorn yang berjudul Pengantar Ilmu 
Hukum judul aslinya adalah Pengantar Ilmu Hukum Belanda. Salah satu ciri 
terpenting dalam sistem hukum Belanda adalah aliran legal positivism. Menurut 
hemat saya ini adalah kekeliruan yang paling mendasar dalam kehidupan hukum di 
Indonesia, terutama sekali ketika pelaksana hukum kita memahaminya secara 
harfiyah.

Dalam kajian ilmu hukum, sistem hukum Belanda tergolong pengikut mazhab 
Roman Law System (istilah Prof Rahardjo sistem hukum Romawi-Jerman). Sistem ini 
dibentuk di benua Eropa yang penggodokannya sejak abad ke-12 dan 13, yang 
mendasarkan pada tersusunnya peraturan perundang-undangan. Menurut sistem ini, 
UU menjadi sumber utama dan hakim tidak boleh membuat keputusan yang berbeda 
dengan UU. 

Di dalam pasal 20 AB disebutkan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan 
UU. Dalam pandangan aliran Legisme abad XIX, setelah Napoleon mengundangkan 
Civil Code-nya, berkembanglah anggapan bahwa UU adalah hukum itu sendiri. Civil 
Code bukan saja dianggap sempurna, namun juga sekaligus dianggap menghasilkan 
kepastian dan kesatuan hukum. Ini kemudian berkembang bahwa UU adalah esensi 
hukum itu sendiri, dimana hakim hanya mempunyai peran menerapkan UU (meliputi 
peraturan perundangan) dalam memberikan putusan hukum.

Bagaimana dengan sistem di Indonesia? Kalau Roman Law System ini dipahami 
secara kaku, maka tidak ada kekeliruan hakim dalam memberikan keputusan. Dalam 
waktu bersamaan, juga tidak ada tanggung jawab yang dibebankan kepada hakim. 
Yang salah, keliru, tidak tepat, tidak adil, atau negatif lainnya adalah bunyi 
harfiah UU atau peraturan perundangan. legal maxim-nya, ''memang hukum 
(peraturan perundangan) berbunyi beigitu''. 

Dengan demikian, terwujudnya proses dan praktik hukum di Indonesia yang 
dianggap salah atau tidak/kurang memuaskan, seperti yang selama ini dituduhkan, 
tidak bisa dibebankan kepada hakim secara keseluruhan, selama ilmu hukumnya 
belum dibenahi. Namun, saya yakin, paham hukum beberapa abad lalu di Belanda 
itu sendiri telah mengalami perubahan, penyesuaian, dan perbaikan sesuai dengan 
tuntutan jamannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar