Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan

Minggu

Di Bidang Politik Perempuan Tetap 'di Bawah' Pria

     Meski Indonesia punya presiden perempuan, tetapi porsi perempuan di bidang
politik belum imbang. Malahan dalam berbagai kesempatan, termasuk pengajuan
usulan RUU Politik dan RUU Pemilu, isu 'kuota' perempuan Indonesia di bidang
politik terus diperjuangkan.
     Sebenarnya sejak 1984 lewat UU No 7, Indonesia meratifikasi konvensi PBB
tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, nyatanya
hingga kini jumlah perempuan yang berada di lembaga legislatif dan yudikatif
serta eksekutif masih minim, tidak mencapai 15 persen.
     Kemudian pada 1994, saat Konferensi Wanita Sedunia di Beijing, dunia kembali
mendengungkan upaya-upaya menjamin hak reproduksi dan keadilan serta
kesetaraan jender, Indonesia pun ikut aktif menyukseskan konferensi
tersebut.
     Pada 1998, pemerintah RI membentuk Komisi Rreproduksi melalui Kepmen (Meneg
PP) nomor 433/1998, kemudian, juga membentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap perempuan melalui Keppres Nomor 181 tahun 1998.
     Langkah pemerintah yang paling menonjol dalam mengupayakan kesetaraan jender
adalah ketika merumuskan GBHN pada 1998 (Tap MPR/II/MPR/1998) maupun pada
GBHN 1999-2004 (Tap MPR/IV/MPR/1999).
     Pada GBHN 1998 disebutkan wanita, baik sebagai warga negara maupun sebagai
sumber daya insani pembangunan, mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban,
serta kesempatan yang sama dengan pria untuk berperan dalam pembangunan di
segala bidang dan tingkatan.
     Semangat itu lebih dikuatkan pada 1999 lewat GBHN 1999-2004 yang
meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara sehingga terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.
     Tapi ternyata semua itu baru rencana 'muluk' di atas kertas, kenyataan
membuktikan lain. Hingga kini perempuan Indonesia masih jauh tertinggal
dibanding laki-laki di bidang politik, meskipun Presiden RI adalah Megawati
yang perempuan.

TERENDAH

     Indonesia merupakan negara dengan partisipasi perempuan di lembaga eksekutif
yang tergolong rendah.
     Buku Data Pembuka Mata terbitan LIPI dan Unicef Mei 2001 menyebutkan bahwa
ketimbang Laos, Indonesia masih kalah jauh dalam memberikan peluang bagi
perempuan untuk berada duduk di eksekutif.
     Padahal Pemilu 1997 dan Pemilu 1999 jumlah pemilih perempuan lebih besar
ketimbang pemilih lelaki, tapi nyatanya potensi besar perempuan di Indonesia
masih terabaikan kalau tidak mau disebut agak 'dipinggirkan'.
     Jumlah perempuan di Parlemen juga tidak banyak meningkat, baikpada masa Orde
Baru (periode 1997-2002) maupun pasca Orde Baru (1999-2004).
     Perempuan Indonesia yang menjadi anggota DPR tak sampai 15 persen, begitu
juga di lembaga MPR, jumlahnya masih minim, di bawah 20 persen.
     Bila dihitung secara matematis, dari setiap delapan anggota DPR hanya satu
perempuan, begitu juga di lembaga MPR.
     Bila dibanding negara ASEAN lainnya, Indonesia sedikit lebih baik ketimbang
Myanmar yang mempunyai sekitar 1-2 persen perempuan di pemerintahan, tapi
jauh tertinggal dari Laos, Brunei, Thailand, Vietnam, Kamboja, Malaysia,
Singapura, apalagi Filipina.
     Indonesia sampai 2001 hanya memiliki perempuan di Parlemen sekitar 11
persen, sedang di pemerintahan tak lebih dari dua persen, jauh tertinggal
dibanding Filipina dengan 25 persen perempuan di pemerintahan dan 12 persen
di parlemen.

Meski begitu, Indonesia bisa bangga di ASAEN persentase perempuan Indonesia
di parlemen termasuk dalam tiga besar, bersama Malaysia dan Filipina.

Dakwah di Bidang Politik, mungkinkah?

    Politik sering diartikan sebagai sebuah tipu muslihat. Politik kotor. Politik penuh tipu daya. Berbagai istilah tidak sedap mengikuti kata politik ini. Jadi kalau ada dakwah di bidang politik, rasanya tidak masuk akal.

    Dakwah adalah seruan kepada Islam secara kaafah. Seruan masuk kedalam Islam yang sempurna.  Islam yang telah mengatur segala aspek kehidupan ini. Inilah dien yang telah diturunkan Allah SWT untuk umat manusia hingga akhir jaman. Panduan hidup generasi terakhir anak cucu Adam AS.

    Mungkinkah tidak ada aturan mengenai unsur kemasyarakatan termasuk didalamnya tata negara? Mustahil itu terjadi.  Allah pencipta manusia, tahu bagaimana manusia hidup bermasyarkat dan bersuku-suku.

     Dalam konteks modern politik adalah sebuah tata cara dalam mengatur kehidupan masyarakat di dalam pemerintahan. Politik terkait dengan cara bagaimana mengelola sumber kehidupan masyarakat banyak seperti air, sumber daya alam dan sumber daya hayati. Jadi kalau tidak ada aturan dalam Islam cara mengelola lingkungan sosial, amat mustahil cara berfikir pendek seperti itu.
     Jadi politik, sepertinya kehidupan ekonomi dan sosial budaya sudah ada norma-norma Islam di dalamnya.

     Persoalannya, dunia politik sekarang banyak diatur oleh orang yang tidak memperhatikan dan menghormati Dien Islam. Mereka mengatur kehidupan politik dengan fikiran sendiri. Inilah pangkal masalahnya.

     Dakwah di bidang politik adalah ajakan mengembalikan tata cara pengurusan masyarakat kedalam suasana yang teduh dan Islami. Inilah panggilan yang sesuai dengan fitrah manusia dimanapun dia berada. Tidak ada manusia di dunia ini yang tidak diciptakan Allah SWT dan tidak satupun mahluk manusia yang tidak akan kembali kepada Allah SWT. Jadi wajarlah bahwa manusia yang berakal menghormati aturan pencipta-Nya dan kepada siapa dia kembali.

     Dakwah dalam politik mungkin masih asing terdengar, itu disebabkan manusia sudah jauh dari nilai-nilai Islami dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka lebih puas dengan aturan misalnya tatanan demokrasi. Sudah saatnya mengenal lebih jauh bagaimana tata cara dakwah dalam politik.

     Trend di Indonesia, menjadi anggota DPR merupakan salah satu - bukan satu-satunya - berdakwah di bidang politik. Parlemen atau DPR merupakan sebuah instrumen dalam pemerintahan modern. Maka menampilkan sosok Islami saat dalam meluluskan sebuah peraturan merupakan sebuah langkah brilian untuk berdakwah.

     Sosok politisi yang tidak hanya bertanggung jawab kepada konstituen tetapi lebih dari itu, dia bertanggung jawab terhadap Allah Maha Pengasih. Dengan kehadiran dirinya di panggung parlemen inilah kemudian pertanggungjawabannya akan sangat bersih karena merasakan pengawasan langsung dari-Nya.

     Mungkinkah dakwah di bidang politik ? Ternya sangat mungkin dan bahkan merupakan keniscayaan.

Pemilu 2009, Menjanjikan tapi Mencemaskan

Pemilu 2009 sejak semula dirancang untuk mencapai beberapa tujuan sekaligus. Pertama, menciptakan sistem pemerintahan yang kompatibel dengan sistem kepartaian sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif. Kedua, menigkatkan kualitas partai politik sebagai institusi penopang demokrasi. Ketiga, meningkatkan kinerja lembaga perwakilan rakyat, dan terakhir, menyertakan keterlibatan 30 persen perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat.

Setelah Undang-Undang Politik disahkan, kecuali Rancangan Undang-Undang Susunan dan kududukan MPR,DPR,DPD dan DPRD, beberapa tujuan yang ingin dicapai mulai menberikan gambaran yang tidal terlalu buruk. Paling spektakuler adalah kesepakatan untuk menyertakan perempuan sebanyak 30 persen dalam lembaga perwakilan. Namun, yang patut disayangkan, tujuan untuk menigkatkan kualitas partai politik dengan menciptakan sistem multipartai terbatas masih belum dapat diraih karena kompromi kepentingan sempit partai politik.

Salah satu aspek yang dianggap menjadi niali lebih pemilu 2009 adalah keputusan Mahkahmah Konstitusi yang menetapkan calon anggota legislatif (caleg) suara terbanyak yang berhak mendapatkan kursi di parlemen. Keputusan itu menporak porandakan oligarki dan dinasti politik partai. Gagasan itu cukup lama menjadi topik diskusi publik yang hangat serta mendapatkan dukungan dari masyarakat meski gagal dituangkan dalam Undang-Undang Pemilu, ide itu dengan alasan pragmatis diapdosi Partai Golkar yang dalam proses pembahasan UU menolak habis-habisan.

Namun, karena menghadapi kenyataan mesin organisasi tidak efektif, pilihannya adalah menggerakkan mesin partai melalui kadernya yang menjadi calon legislatif. Partai Golkar berubah kiblatnya. Tentu kelompok lain sangat menyayangkan keputusan itu, terutama partai politik yang memberikan privilese kader partai yag dianggap andal atau yang dekat dengan pemimpin, sehingga mendapat nomor kecil, menjadi berantakan. Namun, yang lebih mahal harganya adalah ongkos yang harus dibayar pihak perempuan. Affirma tive action yang dimaksudkan untuk menghasilkan proporsi 30 persen perempuan agar kebijakan publik tidak bias jender juga menjadi kacau-balau.

Akan tetapi, hal itu tidak dapat dihindari mengingat dari beberapa tujuan pemilu, secara inheren sering kali tujuan yang satu bisa bahkan bertentangan dengan tujuan yang lain. Misalnya, tujuan untuk mendapatkan anggota parlemen yang akuntabel dengan sistem suara terbanyak tidak sejalan dengan tujuan mendisiplinkan kader partai. Karena itu, politik adalah pilihan,prioritas dan agenda sehingga tidak semua dapat dicapai sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Mengenai anggota kuota perempuan, mungkin gagasan yang menyarankan agar caleg perempuan tidak di ikut sertakan dalam ketentuan suara terbanyak dapat dipertimbangkan.

Dalam perspektif ini dapat dikatakan mesin demokrasi berjalan. Berbagai kepentingan politik subyektif, kelompok,golongan, bahkan yang saling bertentangan secara diametral, selain dapat menghasilkan kompromi yang positif, dapat pula merelatifkan sesuatu yang dianggap mutlak atau berlebihan.

Iklan politik yang gencar dilakukan parpol dan mulai dianggap mengancam kepentingan partai lain menimbulan reaksi balik lawan politiknya untuk meredakan laju popularitas partai itu. Misalnya, iklan tokoh sentral Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang dianggap mulai mendominasi publik, dilawan dengan menghidupkan kembali Panitia Khusus DPR terkait penghilangan paksa  yang oleh Partai Gerindra dianggap sekedar rekayasa untuk menjatuhkan tokoh sentralnya.

Demikian pila Partai Gerindra menganggap tanggapan Presiden SBY dalam keputusan pengadilan Alm. Munir sebagai manuver politik untuk mencegah semakin meningkatkan popularitas partai itu.