Suatu pagi pada 2005, seorang ibu belanja kain di salah satu pasar di Jakarta. Dia pergi ke sebuah toko, mencari kain warna putih bersih. Pejual bertanya, mau membeli berapa banyak? Si ibu menjawab, dia mau membeli semua. Si penjual terkejut, dia bilang stoknya lagi tidak banyak. Memang buat apa, sampai membeli kain sebanyak itu? Si ibu menjawab : buat kain kafan orang-orang yang terkena musibah tsunami di Aceh.
Penjual terdiam cukup lama. Lantas dia berkatadengan suara serak, “ibu bayar setengah saja!”. Belum sempat ibu menjawab, si penjual sudah menyuruh anak buahnya untuk bertanya ke toko sebelah, apa masih mempunyai stok kain putih. Lama juga anak buahnya pergi. Rupanya dia tidak hanya datang ke toko sebelah, dia juga datrang ke toko sebelahnya lagi dan sebelahnya lagi. Begitu balik, dia membawa berita : beberapa toko lain siap menyumbangkan kain putih. Berita ini membuat mata si ibu berkaca-kaca. Ternyata di Jakarta dia punya banyak saudara.
Waktu si ibu keluar dari toko kain, di luar sudah banyak tumpukan gulungan kain putih yang di angkat para kuli. Khusus kain putih ini, para kuli tidak mau di bayar. Tukang parkir membantu mencari truk intuk mengangkat kain-kain itu. Para supir truk juga tidak mau di bayar, cukup uang bensin untuk ke tempat tujuan.
Pagi itu suasana salah satu pasar di Jakarta berubah total. Pengunjung yang tadinya Cuma mau belanja, tiba-tiba menjadi bersatu mengumpulkan uang untuk membeli kain putih. Toko-toko juga berlomba untuk menyumbang kain putih. Suasana bisnis menghilang, yang ada pagi itu adalah orang yang matanya berkaca-kaca. Orang-rang yang hatinya menangis karena mengingat nasib saudaranya di Aceh. Mereka terhatu melihat ratusan gulungan kain putih diangkat dengan khusyuk, seperti sedang mengangkat mayat para korban tsunami Aceh.
Gempa Aceh berlalu meniggalkan luka di tanah Aceh. Hasil sapuannya masih kelihatan jelas sampai sekarang. Bangunan yang hancur masih banyak yang belum di bangun kembali. Terlalu banyak, banyak sekali. Dan goresan terdalam tentu ada dihati para warganya yang masih hidup dengan merasakan beban kesedihan. Perih yang seperti tidak berakhir.
Tapi, kita yang berada jauh dari Aceh mungkin sudah lupa bahwa di negeri kita pernah ada gempa yang membuat takut hati semua orang sedunia. Kita sudah asyik dengan urusan kita. Memburu dunia seolah kita akan hidup selamanya.
Setelah itu, gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Korban tewasnya juga banyak walaupun jauh dibawah gempa Aceh. Dan begitu kabar disiarkan di televisi, tiba-tiba muncul manusia dengan gerakan kemanusiaannya. Hampir di semus tempat orang menggalang tenaga untuk mengumpulkan sumbangan dana.
“Mengapa harus tunggu bencana
Tentara datang untuk kemanusiaan
Mengapa harus tunggu bencana
Kita sisihkan harta untuk sesama
Mengapa tidak setiap hari
Kita berbuat seperti itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar