Minggu

Reformasi Amburadul?

     Berangsung-angsur kita tengah memasuki suatu era baru, “era reformasi”, yang mungkin akan menggantikan Orde Baru. Dengan begitu, kita telah mengalami dua kali pergantian pimpinan nasional.
 
     Sayangnya, kedua peristiwa itu berlangsung tidak wajar dan secara damai, melainkan dipicu oleh pergolakan politik yang ditandai kekerasan. Entah kapan kita akan memulai tradisi pergantian pimpinan nasional secara damai betul, dengan tulus ikhlas dan with grace.

     Belajar dari pengalaman sejarah tidak selalu mudah. Indonesia baru mengenyam kemerdekaannya sedikit lebih dari setengah abad. Untuk suatu negara, apalagi sebesar Indonesia, usia itu terbilang masih muda belia.

     Kita masih harus belajar dan menemukan mekanismenya, bagaimana kita berganti pimpinan secara demikian. Apakah secara tidak sadar kita memang belajar dari sejarah kuno “bangsa-bangsa” sebelum melebur menjadi satu bangsa Indonesia yang berbhineka, sehingga belajar dari sejarah itu sekedar berarti mengulanginya, atau memetik pelajaran yang keliru?

     Tetapi bukan saja memetik pelajaran yang benar dan tepat dari pengalaman sejarah itu sukar, bahkan mengulanginya pun kelihatannya juga sukar. Dari pengalaman sejarah mana kita akan belajar “reformasi?”

     Ketika saya menerbitkan buku tentang pembaruan atau reform - Setengah Abad Negara Pancasila : Tinjauan Kritis Ke Arah Pembaruan, (1995) - saya masih membedakan istilah-istilah itu dari “reformasi”, kecuali dalam proses tumbangnya di negara-negara komunis di Eropa Timur.

     Mungkin ada benarnya pernyataan Presiden Suharto dulu sebelum akhirnya “berhenti”, bahwa sejak Proklamasi Kemerdekaan kita telah melaksanakan reformasi. Sayangnya, setiap usaha “reformasi”, yang pada hakikatnya dimaksudkan sebagai perbaikan, selalu berakhir dengan kebobrokan.

     Setelah sebentar sekali kita bereksperimentasi dengan sistim kabinet presidensial, kita berganti haluan mencoba sistim palrlementer yang berlangsung lebih lama. Kekacauan sistim parlementer hendak dikoreksi, direformasi, atau dalam istiah Bung Karno, di “retool” dengan mengantikannya dengan sistim “demokrasi terpimpin”.

     Demokrasi terpimpin menimbulkan penyelewengan-penyelewengan yang hendak dikoreksi oleh Presiden Suharto dengan Orde Baru sebagai “koreksi total”. Tetapi setelah lebih dari tiga dasawarsa, nasib Orde Baru bahkan lebih seru lagi.

     Itulah latar belakang historis yang mungkin sebagian dapat menjelaskan kebingungan kita sekarang ini. Sidang istimewa MPR sudah diagendakan untuk dilangsungkan dalam bulan Desember, yang pada gilirannya akan mencanangkan pemilu. Pernah saya katakan, agar MPR dapat melaksanakan reformasi, perlu orpol melakukan reformasi atas dirinya sendiri lebih dulu sebelum menganti paket lima UU politik yang berkaitan dengan pemilu dan tindak-lanjutnya.

     Tetapi saya ragu, apakah menggugat pimpinannya, seperti yang sudah terjadi pada ketua umum Golkar dan ketua umum PPP, merupakan awal yang tepat dari proses itu. Sementara itu, MKGR sudah menyatakan keluar dari Golkar. Lalu apakah anggota-anggota ormas itu yang menjadi anggota MPR atas nama Golkar harus kehilangan kursinya? Bagaimana dengan mereka yang sudah mundur karena tersangkut KKN dan mungkin lebih lagi yang berbuat sama karena “tahu diri?”

     Sebelum SI MPR, para anggotanya bisa diganti atau di "retool", sehingga dapat menghasilkan ketetapan-ketetapan yang disemangati reformasi. Ini saya ambil dari pengalaman tahun 1966/67. MPRS buatan Sukarno juga dapat menggulingkan Sukarno setelah banyak diganti anggotanya, terutama karena banyak kursi yang telah ditinggalkan oleh anggota-anggota PKI.

     Tetapi tahun-tahun itu tidak ada Wakil Presiden, dan ada pemimpin baru yang jelas muncul, yaitu Suharto sebagai pemimpin Orde Baru. Setelah menumpas PKI, yang dihadapi hanyalah Sukarno. MPRS bisa diretool sedemikian hingga menjadi alat Orde Baru yang dapat menjatuhkan Presiden Sukarno. Bahwa kemudian dengan begitu kita telah menciptakan monster adalah masalah lain.

     Kini, setelah mundurnya Presiden Suharto, muncullah Presien Habibie yang juga merupakan bagian dari rezim yang ada. Lalu pemimpin seperti Suharto dulu kini tidak ada.. Mungkin power struggle di antara elit politik, sipil maupun militer, masih berlangsung dan belum mencapai kristalisasi. Kalau ini benar, saya hanya berharap jangan lagi rakyat menjadi korban.

     Sekarang, siapa akan merombak keanggotaan MPR hingga SI menghasilkan ketetapan-ketetapan yang menguntungkan kepentingan reformasi? Sementara itu sudah lebih dari tiga puluh partai politik baru lahir seperti cendawan di musim hujan. Perkembangan ini belum tentu menguntungkan reformasi dan masa depan demokrasi, apalagi kalau kecenderungan dan kepentingan sektarian, apa pun basisnya, semakin menonjol.

     Sementara kalangan mengembangkan gagasan pembentukan suatu komite yang independen sebagai alternatif untuk melaksanakan tugas SI MPR. Tetapi siapa berwewenang membentuk komite seperti itu? Bagaimana memilih anggota-anggotanya? Apa dasar legitimasinya?

     Itulah kiranya tantangan yang kita hadapi pada tahap gerakan reformasi sampai saat ini. Perjalanan yang masih harus kita tempuh masih jauh sekali. 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar