Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ekonomi. Tampilkan semua postingan

Selasa

KESEJAHTERAAN RAKYAT DALAM EKONOMI PANCASILA

Amandemen Konstitusi yang Keliru

1. Ada tiga istilah berbeda yang dalam praktek digunakan secara bergantian dan sering dianggap sama arti yaitu Kesejahteraan Sosial (judul bab XIV UUD 1945), Kemakmuran Rakyat (ayat 3 pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya), dan Kesejahteraan Rakyat (nama sebuah Kementerian Koordinator). Kebanyakan kita tidak berminat secara serius membahas secara ilmiah perbedaan ke tiga istilah tersebut. Akibat dari keengganan ini jelas yaitu tidak pernah ada kepastian dan ketegasan apa misi sosial instansi-instansi pemerintah atau kementerian utama yang berada dalam lingkup Menko Kesejahteraan Rakyat seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, atau Departemen/Kementerian Sosial. Jika judul bab XIV yang mencakup pasal 33 UUD 2002 (amandemen pasal 33 UUD 1945) diubah dari hanya Kesejahteraan Sosial menjadi Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (terdiri atas 5 pasal, 3 pasal lama dan 2 pasal baru), maka anggota MPR kita rupanya telah tersesat ikut menganggap bahwa perekonomian nasional bisa dilepaskan kaitannya dengan kesejahteraan sosial. Pada saat disahkannya UUD 1945 para pendiri negara tidak ragu-ragu bahwa baik buruknya perekonomian nasional akan ikut menentukan tinggi rendahnya kesejahteraan sosial. Dalam kaitan dengan dasar-dasar ilmiah lahirnya ilmu ekonomi, para pendiri negara berpandangan bahwa ilmu ekonomi adalah cabang/bagian dari ilmu sosial yang pengamalannya akan bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat.

2. Kekeliruan lain yang muncul dalam amandemen pasal 33 UUD 1945 adalah penambahan ayat 4 tentang penyelenggaraan perekonomian nasional yang dibedakan dari penyusunan perekonomian nasional yang sudah disebutkan pada ayat 1: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.” Alasan penambahan ayat 4 rupanya sekedar mencari kompromi antara mereka yang ingin mempertahankan dan yang ingin menggusur asas kekeluargaan pada ayat 1. Mereka yang ingin menggusur asas kekeluargaan memang bersemangat sekali memasukkan kata efisiensi (ekonomi) karena mengira asas kekeluargaan menolak sistem ekonomi pasar yang berprinsip efisiensi, padahal yang benar perekonomian yang berasas kekeluargaan atau berasas Pancasila tidak berarti sistem ekonomi “bukan pasar”. “Masih untung”, dalam rumusan hasil amandemen (ayat 4) kata efisiensi disambung dengan kata berkeadilan (efisiensi berkeadilan), padahal rumusan aslinya adalah efisiensi, berkeadilan, … dst. Tentu dapat dipertanyakan apakah memang ada konsep efisiensi berkeadilan atau sebaliknya efisiensi yang tidak berkeadilan.


URL : Source

KECENDERUNGAN PROSES PEMBARUAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA

     Jika kita yakin bahwa kebenaran dan kebaikan itu datangnya dari Tuhan Yang Maha Benar dan Maha Baik, maka kita juga tentu yakin bahwa proses mencari kebenaran dan kebaikan itu pada akhirnya akan menang menghadapi segala rintangan dan kendala yang menghalangi jalur perjalanannya. Dan jika kita percaya akan hal tersebut maka sebenarnya arus proses mencari kebenaran dan kebaikan itulah sesungguhnya hakekat realita kehidupan. Segala sesuatu yang mencoba menghalangi atau membendung merupakan sesuatu yang bertentangan dengan realita, dan sebaliknya realita akan sejalan seiringan dengan kebenaran dan kebaikan. Sebagai mahluk yang menghamba kepada kehendak Tuhan, manusia sebenarnya hanya memiliki dua tugas, yaitu untuk terus mempelajari, memahami dan menghayati arti dan wujud kongkrit kebenaran dan kebaikan itu; serta terus menerus berusaha, berikhtiar untuk mewujudkannya. Bagi manusia, pertanggung-jawaban yang harus diberikan adalah mengenai bagaimana proses pemahaman tersebut terus dikembangkan dan bagaimana konsistensi usaha dan ikhtiar yang dilakukannya. Hasil paling akhirnya sudah pasti: kebenaran dan kebaikan akan menang; manusia tidak dapat mempengaruhi hal tersebut. Manusia hanya menikmati hasil dari pemahaman dan ikhtiar yang dilakukannya.

     Pemikiran dasar di atas kiranya berlaku untuk setiap aspek kehidupan di dunia ini, termasuk -bahkan mungkin terutama- dalam kegiatan ekonomi. Bahwa memang terdapat kecenderungan pembaruan menuju kebenaran dan kebaikan ekonomi yang bergerak sepanjang sejarah manusia. Hal tersebut dapat dilihat dengan mencermati tonggak-tonggak sejarah perkembangan ekonomi dunia mulai dari perekonomian pada masa awal sejarah, perkembangan ekonomi di Yunani, di Cina, di Jazirah Arab, perdagangan Timur-Barat, hingga ke Depresi tahun 1930-an, kemerdekaan bangsa-bangsa setelah Perang Dunia, apa yang disebut sebagai "Asian Miracle" dan krisis ekonomi Asia, serta rangkaian teori yang dihasilkan oleh para peraih hadiah Nobel. Perkembangan tersebut sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, dan tampaknya terdapat suatu kecenderungan pokok bahwa ekonomi -dan ilmu ekonomi- semakin realistis mencoba untuk selalu lebih dapat mencerminkan kehidupan manusia dan masyarakat yang kompleks. Dalam tataran teori dan konsep, ilmu ekonomi semakin banyak membahas berbagai hal yang pada kondisi riilnya dalam masyarakat memang menentukan keputusan ekonomi yang sebelumnya hampir selalu menjadi objek asumsi "ceteris paribus". Aspek-aspek seperti informasi yang tidak sempurna, adanya harapan (ekspektasi) yang rasional dalam pengambilan keputusan, adanya pengaruh demokratisasi terhadap penanggulangan kemiskinan, atau kesatuan keputusan produksi dan konsumsi dalam rumah tangga semakin mendapat perhatian dalam pembahasan teori.


URL : Source

MENIMBANG SEJARAH DALAM EKONOMI INDONESIA.

“Perekonomian suatu negeri pada umumnya ditentukan oleh tiga hal. Pertama,kekayaan tanahnya. Kedua, kedudukannya terhadap negeri lain dalam lingkungtan Internasional. Ketiga, sifat dan kecakapan rakyatnya, serta cita-citanya. Terhadap Indonesia harus ditambah satu hal lagi, yaitu senarahnya sebagi tanah jajahan”. (Hatta, 1971)

     Demikianlah sedikit penggalan pernyataan Bung Hatta dalam salah satu Konferensi Ekonomi di Yogyakarta 1946.
     Kurang lebih 3,5 abad bangsa Indonesia dalam masa penjajahan dari mulai bangsa Portugis, Belanda ataupun Jepang. Sejarah penjajahan banyak memberikan pengaruh yang fundamental dalam tatanan struktur sosial, ekonomi, budaya dan politik. Eropa Barat sebagai tempat beberapa negara pennjajah Indonesia, adalah basis lahirnya pemikiran-pemikiran ekonomi, sehingga  cukup berpengaruh dalam perkembangan kondisi ekonomi di negara-negara jajahan. Pemikiran Liberalisme Klasik banyak menjadi acuan dasar hubungan ekonomi negara penjajah dengan negara jajahan. Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nation, 1776 berhasil memperkukuh filsafat individualistik dalam pemikiran ekonomi, yang sebenarnya sudah berkembang sejak jaman Merkantilis. Teori pembagian kerjanya atau spesialisasi, dianggap sebagai salah satu kunci pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus.. Pembagia kerja harus didukung oleh pasaran barang produksi, manifestasinya  dengan melakukan perluasan teritori. Perluasan wilayah untuk memperoleh perluasan pasar bagi barang-barang yang di produksi harus dilaksanakan kalau perlu dengan bantuan pemerintah (Samuels, 1966). David Ricardo yang juga salah satu pemikir liberalisme klasik dengan teori Manfaat Komparatif dijadikan  dasar bagi perdagangan luar negeri. Munculnya Etika Protestan pada abad pertengahan bersamaan dengan pencetusan liberalisme klasik menjadi semacam legitimasi bagi filsafat individualistik yang dikemukakan Adam Smith. Minimalisasi kekuasaan gereja dan pemerinyah oleh golongan kapitalis terlihat sangat kuat (Weber, 1958; Towney, 1960; Hill, 1966 ).

     Di Indonesia, salah satu negara Eropa Barat yang paling kuat melakukan membangaun fundamental ekonomi yang kapitalistik atau eksploitatif adalah Belanda. Pada tahun 1600- 1800 penguasaan dilakukan melalui Persatuan Pedagang Belanda (VOC) yang menerapkan pola monopoli dalam membeli komoditas perdagangan nasional seperti lada, pala, cengkeh, kopi, dan gula. Setelah VOC bangkrut (bubar) tahun 1799, dikarenakan pemerintahan Belanda telah di duduki oleh Jerman, untuk sementara pemerintahan di Hindia Belanda di ambil alih oleh Inggris selama 1811-1816. Letnan Gubernur Thomas R. Raffles mempekenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan. Tahun 1830 Hindia Belanda sudah kembali di kuasai oleh Belanda, kebijakan ekonomi yang kemudian di gunakan adalah Sistem Tanam Paksa, yang bertujuan mengisi kekosongan kas atau defisit anggaran pemerintah Belanda yang diakibatkan oleh kekalahannya dalam perang yang berkepanjangan. Sistem ini adalah manifestasi dari spesialisasi paksaan yang didasarkan analisa keuntungan komparatif  David Ricardo yang kemudian diterapkan oleh negara penjajah terhadap setiap koloninya (Sritua Arief dan Adi Sasono, 1981). Surplus ekonomi yang dihasilkan oleh sistem ini, praktis tanpa menmggunakan modal pokok investasi yang berarti, karena modal pokok investasi adalah tenaga kerja petani (Frank, 1981). Tenaga kerja diperas dengan tingkat pendapatan riil yang semakin kecil sehingga kian menciutkan kapasitas petani pekerja untuk menjadi tenaga kerja produktif. Akhirnya kelas pekerja ini tidak memiliki kesempatan untuk semakin memperbaiki dirinya. Kebijakan menanaman komoditas ekspor bahan-bahan mentah ini, menjadikan proses pemenuhan terhadap kebutuhan bahan pokok semakin merosot. Pulau Jawa mengalami kemerosotanbahan makanan pokok, terutama sesudah pembukaan perkebunan-perkebunan besar dilaksanakan. Surplus ekspor (setelah dikurangi impor) sebagai hasil sistem tanam paksa tercatat berjumlah sebesar 781 guilden, selama periode 1840-1875 (Hatta, 1972). Setelah mendapat kecaman yang cukup keras dari berbagai kalangan di Belanda, maka pada tahun 1870 sistem ini dibubarkan. Namun, pemaksaan penanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung hingga tahun 1915. Sistem tanam paksa kemudian digantikan oleh sistem kapitalis liberal. Tidak ada yang berubah dalam dialetik hubungan ekonomi yang terbangun, jika dulu yang melakukan eksploitasi adalah pemerintah sekarang di gantikan pengusaha swasta, pemerintah hanya berperan sebagai penjaga dan pengawas jalannya sistem ekonomi melalui peraturan perundang-undangan.

URL : Source