Minggu

Pemilu 2009, Menjanjikan tapi Mencemaskan

Pemilu 2009 sejak semula dirancang untuk mencapai beberapa tujuan sekaligus. Pertama, menciptakan sistem pemerintahan yang kompatibel dengan sistem kepartaian sehingga dapat mewujudkan pemerintahan yang efektif. Kedua, menigkatkan kualitas partai politik sebagai institusi penopang demokrasi. Ketiga, meningkatkan kinerja lembaga perwakilan rakyat, dan terakhir, menyertakan keterlibatan 30 persen perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat.

Setelah Undang-Undang Politik disahkan, kecuali Rancangan Undang-Undang Susunan dan kududukan MPR,DPR,DPD dan DPRD, beberapa tujuan yang ingin dicapai mulai menberikan gambaran yang tidal terlalu buruk. Paling spektakuler adalah kesepakatan untuk menyertakan perempuan sebanyak 30 persen dalam lembaga perwakilan. Namun, yang patut disayangkan, tujuan untuk menigkatkan kualitas partai politik dengan menciptakan sistem multipartai terbatas masih belum dapat diraih karena kompromi kepentingan sempit partai politik.

Salah satu aspek yang dianggap menjadi niali lebih pemilu 2009 adalah keputusan Mahkahmah Konstitusi yang menetapkan calon anggota legislatif (caleg) suara terbanyak yang berhak mendapatkan kursi di parlemen. Keputusan itu menporak porandakan oligarki dan dinasti politik partai. Gagasan itu cukup lama menjadi topik diskusi publik yang hangat serta mendapatkan dukungan dari masyarakat meski gagal dituangkan dalam Undang-Undang Pemilu, ide itu dengan alasan pragmatis diapdosi Partai Golkar yang dalam proses pembahasan UU menolak habis-habisan.

Namun, karena menghadapi kenyataan mesin organisasi tidak efektif, pilihannya adalah menggerakkan mesin partai melalui kadernya yang menjadi calon legislatif. Partai Golkar berubah kiblatnya. Tentu kelompok lain sangat menyayangkan keputusan itu, terutama partai politik yang memberikan privilese kader partai yag dianggap andal atau yang dekat dengan pemimpin, sehingga mendapat nomor kecil, menjadi berantakan. Namun, yang lebih mahal harganya adalah ongkos yang harus dibayar pihak perempuan. Affirma tive action yang dimaksudkan untuk menghasilkan proporsi 30 persen perempuan agar kebijakan publik tidak bias jender juga menjadi kacau-balau.

Akan tetapi, hal itu tidak dapat dihindari mengingat dari beberapa tujuan pemilu, secara inheren sering kali tujuan yang satu bisa bahkan bertentangan dengan tujuan yang lain. Misalnya, tujuan untuk mendapatkan anggota parlemen yang akuntabel dengan sistem suara terbanyak tidak sejalan dengan tujuan mendisiplinkan kader partai. Karena itu, politik adalah pilihan,prioritas dan agenda sehingga tidak semua dapat dicapai sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Mengenai anggota kuota perempuan, mungkin gagasan yang menyarankan agar caleg perempuan tidak di ikut sertakan dalam ketentuan suara terbanyak dapat dipertimbangkan.

Dalam perspektif ini dapat dikatakan mesin demokrasi berjalan. Berbagai kepentingan politik subyektif, kelompok,golongan, bahkan yang saling bertentangan secara diametral, selain dapat menghasilkan kompromi yang positif, dapat pula merelatifkan sesuatu yang dianggap mutlak atau berlebihan.

Iklan politik yang gencar dilakukan parpol dan mulai dianggap mengancam kepentingan partai lain menimbulan reaksi balik lawan politiknya untuk meredakan laju popularitas partai itu. Misalnya, iklan tokoh sentral Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang dianggap mulai mendominasi publik, dilawan dengan menghidupkan kembali Panitia Khusus DPR terkait penghilangan paksa  yang oleh Partai Gerindra dianggap sekedar rekayasa untuk menjatuhkan tokoh sentralnya.

Demikian pila Partai Gerindra menganggap tanggapan Presiden SBY dalam keputusan pengadilan Alm. Munir sebagai manuver politik untuk mencegah semakin meningkatkan popularitas partai itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar